Mungkin belum banyak orang yang mengenal sosok pria bernama lengkap Ulus Pirmawan (43). Dia ialah seorang petani sukses asal Kampung Gandok, Desa Suntenjaya, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat.
Ulus yang lahir di Bandung, 16 Februari 1974, ialah anak ketiga dari pasangan Adin dan Juju. Kedua orang tuanya itu merupakan petani yang berhasil mendidik Ulus menjadi sosok petani hebat yang mampu meningkatkan daya saing industri pertanian.
Sejak duduk di bangku sekolah dasar (SD) Ulus sudah turun ke ladang membantu kedua orang tuanya. Ulus melihat kedua orang tuanya menanam tomat dan kentang.
“Dari SD saya sudah ikut dengan beliau (orang tua) jadi sudah mengenal pertanian bahkan cara nanam, pemupukan saya sudah diajarin,” kata Ulus, saat ditemui di kediamannya, di Kampung Gandok, Desa Suntenjaya, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Sabtu (7/10/2017).
Berbekal pengalaman, Ulus yang hanya bisa menempuh pendidikan sampai tingkat SD kemudian diberi kepercayaan oleh orang tuanya untuk menggarap lahannya sendiri.
“Keluar SD itu sudah dikasih lahan sama orang tua untuk di garap. Luasnya sekitar 120 tumbak dan alhamdulillah hasilnya memuaskan,” ujarnya.
Suka duka terus ia jalani untuk demi meraih sukses sebagai petani. Dibantu lima orang buruh tani kala itu ia terus berusaha menghasilkan produk pertanian yang berkualitas.
Ulus mengungkapkan, selain menggarap lahan dia juga diberi kepercayaan oleh orang tuanya untuk mencari pengepul yang mau membeli hasil pertaniannya. Di desanya sendiri hanya ada satu pengepul buncis untuk dipasarkan ke Pasar Caringin Bandung.
Namun, pengepul tersebut kurang transparan soal harga. Sehingga produk-produk pertanian khususnya buncis super dibeli dengan harga yang dirasa kurang pas. “Kita bawa barang tanpa tahu harganya berapa. Besoknya ambil bon (pembayaran) tapi kita tidak tahu (buncis super yang kita bawa) dijual berapa),” kata Ulus.
Merasa tidak puas dengan hasil yang didapat, Ulus memiliki niat untuk memasarkan langsung produk buncis super yang ditanamnya. Dia mencari pengepul lain yang berani membeli buncisnya dengan harga yang lebih tinggi.
“Ketemu pengepul di daerah Cicalung dan Cibeuerem di Kecamatan Lembang. Ke mereka kita bisa nego harga dari awal. Misal di Gandok rendah mereka berani lebih tinggi,” tuturnya.
Seiring berjalan waktu, peningkatan harga mulai terasa olehnya. Dampaknya terhadap peningkatan pendapatan. Tidak puas sampai situ, dia kemudian mencari tahu produk pertanian khususnya buncis yang dia jual itu di pasarkan kemana oleh si pengepul.
“Katanya dibawa ke Pasar Kramat Jati, di Jakarta. Keren nih. Terus saya tanya lagi bisa enggak kalau saya kirim buncis ke Kramat Jati. Terus ada dan saya dikenalkan ke salah satu pengusaha yang bernama Minggu (MG) kita masuk (mengirim) kesana,” ucap Ulus.
Setelah rutin mengirim barang ke Pasar Kramat Jati, sekitar tahun 1993 Ulus berinisiatif untuk mengunjungi Pasar Kramat Jati. Di sana dia mencoba mencari jaringan yang bisa menampung buncis super yang dihasilkannya.
“Saya datengin Los E dan ketemu Pak Emen. Dia orang Bandung dan kebetulan kenal orang tua di sini (Kampung Gandok). Saya kemudian rutin mengrim ke sana (Pake Emen),” ujarnya.
Sejak saat itu, dari awalnya petani biasa Ulus bertransformasi menjadi pengepul tanaman buncis yang unggul. Bahkan pengepul yang ada di kampungnya terpaksa gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengannya.
“Pengepul di sini yang satu itu jadi kompetitor. Setelah masuk saya, jadi ramai dan peningkatan harga kerasa. Buncis dulu itu dibeli 500 rupiah per kilogram, saya berani sampai 750 rupiah per kilogram,” ujar Ulus.
Singkat cerita berkat ketekunan dan rasa penasaran tinggi Ulus berhasil masuk ke pasar internasional. Produk buncis yang dia hasilkan dan kumpulkan mulai diekspor untuk memenuhi pasar Singapura.
Pada 1995 dia kembangkan pasar ekspor. “Awalnya karena pengiriman saya banyak terus 4-5 ton per hari, dampaknya ekportir kekurangan stok barang. Akhirnya salah satu perusahaan mencari buncis ke saya. Dari saat itu saya rutin mengirim ke Singapura,” tutur Ulus