Polemik tata ruang khususnya terkait dengan pertanian dan perkebunan harus diselesaikan dengan ditunjuknya satu otoritas tunggal dengan kewenangan penuh untuk menangani seluruh persoalan tersebut. Otoritas ini juga harus mampu melakukan koordinasi antarlembaga pemerintah sehingga tidak terjadi lagi tumpang tindih kewenangan terkait tata kelola lahan.
Pengamat Pertanian Suwardi mengatakan, salah satu solusi yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan masalah tata ruang wilayah adalah dengan memperkuat dan memperluas kewenangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk bisa mengatur lahan kawasan hutan.
“Pada prinsipnya, wewenang untuk mengatur pemanfaatan ruang, seluruhnya diserahkan kepada Kementerian ATR/BPN sebagai otoritas tunggal.” ujar dia di Jakarta, Senin (3/6/2019).
Di sisi lain, Kementeran Kehutanan dan Kementerian Pertanian sebaiknya digabung menjadi satu kementerian dengan kewenangan untuk mengelola perizinan dan pemanfaatan.
“Dengan demikian masalah pemanfataan nantinya ditangani Kementerian Kehutanan dan Pertanian. Sedangkan Kementerian ATR/BPN kembali ke khitahnya yakni mengurus semua hal terkait tata ruang,” kata dia.
Suwardi juga menyarankan definisi dualisme lahan hutan dan kawasan hutan harus diputuskan agar tidak menjadi sumber konflik.
“Penetapan kawasan hutan tidak bisa dilakukan sepihak oleh Kementerian KLHK tetapi harus ditetapkan bersama Kementerian Pertanian dan ATR/BPN,” kata dia.
Sementara itu, Sekretaris Direktorat Jenderal Hubungan Hukum Keagrariaan, Kementerian ATR/BPN, Ery Suwondo mendukung adanya otoritas tunggal untuk mengurus tata ruang agar tidak tumpang tindih dengan kawasan hutan.
Selama ini, Kementerian ATR/BPN lebih mengatur tentang penggunaan dan kepemilikan. Sedangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) lebih mengatur tentang perizinan pemanfaatan sumber daya alam yang cenderung menyangkut tata ruang.
Ery menambahkan, pembahasan RUU pertanahanan antara DPR dan pemerintah diharapkan bisa mengharmonisasikan berbagai kesenjangan kebijakan antara antara Kementerian ATR/BPN dan KLHK. Melalui RUU tersebut, Kementerian ATR/BPN ingin menjamin jika kawasan pertanian dan perkebunan yang diberikan dalam artinya bebas konflik.
“Berbagai persoalan pengaturan tanah terlantar, kepastian dan legalitas masalah tumpang tindih peruntukan yang menyulitkan masyarakat dan dunia usaha memperoleh Mandatori sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan banyak hal, diharapkan bisa selesai melalui kebijakan yang tertuang RUU pertanahan ini,” tandas dia.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi meminta Kementerian Agraria dan Tata Ruang serta Badan Pertanahan Nasional segera menyelesaikan permasalahan sengketa tanah di lingkungan masyarakat. Jokowi menyebut, dari laporan yang diterima sengketa tanah masih terjadi baik antara rakyat dengan perusahaan swasta, rakyat dengan BUMN maupun rakyat dengan pemerintah.
Mantan Gubernur DKI Jakarta ini mencontohkan sengketa tanah antara rakyat dengan PT Perkebunan Nusantaracyang masih terjadi di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.
“Saya kira ini bukan hanya di Kampar saja tapi hampir di semua kabupaten kejadian-kejadian itu ada semuanya. Saya minta diselesaikan, diselesaikan secepat-cepatnya, dituntaskan agar rakyat memiliki kepastian hukum, ada rasa keadilan,” ujar Jokowi dalam rapat terbatas Percepatan Penyelesaian Masalah Pertanahan di Kantor Presiden Jakarta, Jumat (3/5/2019).
Jokowi juga mengingatkan mengenai penggunaan konsesi lahan. Dia menekankan BUMN maupun swasta harus memberikan konsesi lahan kepada masyarakat yang telah lama menetap di sekitar kawasan tersebut.
Jika BUMN maupun swasta menolak menyerahkan konsesi lahan kepada masyarakat, Jokowi meminta kementerian atau lembaga terkait segera mengambil sikap.
“Saya sampaikan kalau yang diberi konsesi sulit-sulit cabut konsesinya. Saya sudah perintahkan ini cabut suruh konsesinya tegas,” kata dia.